Sabtu, 01 September 2012

Artikel Kebidanan-ResusiTasi Jantung PaRu

I.1. Latar Belakang
Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal didunia karena serangan jantung. Dan sangat disayangkan jika seseorang tiba-tiba meninggal, yang tadinya kelihatan segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat untuk tiba-tiba tidak berdenyut lagi.
Di Amerika penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu. Setiap tahun hampir 330.000 warga Amerika meninggal karena penyakit jantung. Setengahnya meninggal secara mendadak, karena serangan jantung (cardiac arrest).
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR). Menurut American Heart Association bahwa rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.
RJP biasanya di pelajari oleh dokter, perawat dan para medis lainya, akan tetapi di Amerika RJP di pelajari oleh orang-orang yang bertugas di publik (keramaian orang), seperti satpam, polisi, petugas stasiun dan pekerja publik lainnya. Setiap tahun RJP menolong ribuan nyawa di Ameriksa Serikat. Lebih dari 5 juta warga amerika mendapat pelatihan RJP dari American Heart Association dan American Red Cross Course.

ResusiTasi Jantung Paru

Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali, dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung dan pada henti napas.
RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung yang dilakukan pada korban serangan jantung.

Indikasi
A. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung.
B. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.

Fase RJP
Resusitasi jantung paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya:
1. FASE I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
2. FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3. FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

Prosedur RJP
Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: kompresi dada dan mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan.
Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih dahulu:
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP.

A. Bantuan Hidup Dasar
Merupakan prosedur pertolongan darurat tentang henti jantung dan henti napas serta bagaimana melakukan RJP yang benar sampai ada bantuan datang. Caranya ialah:
1. Airway (Jalan Napas)
Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras (ubin), bila diatas kasur selipkan papan. Periksa jalan napas korban sebagai berikut : 
- membuka mulut korban 
- masukkan 2 jari (jaritelunjuk dan jari tengah)
- lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan)

Pada korban tidak sadar, tonus otot menghilang, sehingga lidah akan menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Lidah yang jatuh kebelakang(drop), menutpi jalan napas. 

- Letakkan tangan penolong diatas kening korban dan tangan yang lain didagu korban , tengadahkan/dongakkan kepala korban (Head tilt - chin lift).

- Jika kita mencurigai adanya patah atau fraktur tulang leher/servikal, maka pakai cara “jaw trust”, lalu buka jalan napas.
2. Breathing (Pernapasan)
Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:
- Look: lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
- Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak
- Feel: rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau tidak.

Jika tidak ada maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau mulut ke sungkup, atau mulut ke hidung atau mulut ke lubang trakheostomi sebanyak 2 kali.

Saat memberi napas buatan, pastika dada korban mengembang yang menandakan bahwa bantuan napas adekuat.
3. Circulation (Sirkulasi buatan)
Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis).
- Apabila terdapat denyut nadi maka berikan pernapasan buatan 2 kali.
- Apabila tidak terdapat denyut nadi maka lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali.

Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi proc. Xyphoideus, dan tarik garis ke cranial 2 jari diatas proc. Xyphoideus, dan lakukan kompresi pada tempat tersebut.

Kemudian berikan 2 kali napas buatan dan teruskan kompresi dada sebanyak 30 kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali.
Kemudian cek nadi dan napas korban, apabila:
- Tidak ada napas dan tidak ada nadi : teruskan RJP sampai bantuan datang
- Terdapat nadi tetapi tidak ada napas: mulai lakukan pernapasan buatan
- Terdapat nadi dan napas: korban membaik.



RJP pada bayi dan anak :
Pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian tengah tulang dada.



B. Bantuan Hidup Lanjut
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1. Penting: 
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. 
c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
2. Berguna: 
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya. 
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi.

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
C. Bantuan Hidup terus-menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.

KESIMPULAN

1. Reusitasi jantung paru adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung dengan bantuan pernapasan dan kompresi dada.
2. Indikasi dilakukan RJP adalah henti napas dan serangan jantung
3. Fase-fase pada RJP adalah Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan terus-menerus.
4. Prosedur RJP terbaru adalah kompresi dada 30 kali dengan 2 kali napas buatan. 
5. Prosedur RJP dapat diterapakan pada bayi, anak dan dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sanif E., 2008. Metode Baru Resusitasi Jantung Paru. Diakses dari http://www.jantunghipertensi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=9
2. Stoppler M.C., 2008. The Importance of CPR. Diakses dari http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/article_em.htm
3. Dar Ahmed B., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. Assocaiate Prof of Medicine. Chinkipora Sopore Kashmir, India.
4. Andrey, 2008. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Diakses dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-paru-pada-kegawatan-kardiovaskuler/
5. Wikipedia, 2009. Cardiopulmonary Resuscitation. Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Cardiopulmonary_ resuscitation
6. American Heart Association. 2009. Cardiopulmonary resuscitaion. Diakses dari http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479 



Senin, 06 Agustus 2012

Otonomi Bidan dalam Pelayanan Kebidanan


Otonomi Bidan dalam Pelayanan KebidananAkuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang penting dan dituntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggungjawaban dan anggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang dilakukan. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatuevidence based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas wewengan profesi yang bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang dilandasi kemampuan berfikir logis dan sistematis serta bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.
Praktik kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya melalui :
  1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
  2. Penelitian dalam bidang kebidanan
  3. Pengembangan ilmu dan tekhnologi dalam kebidanan
  4. Akreditasi
  5. Sertifikasi
  6. Registrasi
  7. Uji Kompetensi
  8. Lisensi
Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal yang mendasari dan terkait dengan pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
  1. Kepmenkes Republik Indonesia 900/Menkes/SK/VII/2002 Tentang registrasi dan praktek bidan.
  2. Standar Pelayanan Kebidanan 2001
  3. Kepmenkes Republik Indonesi Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan
  4. UU Kesehatan No. 23 Tahun1992 tentang Kesehatan
  5. PP No 32/Tahun 1996 Tentang tenaga kesehatan
  6. Kepmenkes Republik Indonesia 1277/Menkes/SK/XI/2001 Tentang organisasi dan tata kerja Depkes
  7. UU No 22/1999 Tentang Otonomi daerah
  8. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
  9. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi
  10. KUHAP, dan KUHP, 1981
  11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor; 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik
  12. UU yang terkait dengan Hak reprodiksi dan Keluarga Berencana
  • UU No. 10/1992 Tentang pengembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
  • UU No. 23/2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Dalam Rumah Tangga
  • sumber